You are currently viewing Digoel, Penjara Kaum Marxis

Digoel, Penjara Kaum Marxis

ANTIKOMUNISME.COM, BOVEN DIGOEL. Partai Komunis Indonesia (PKI) dikenal sebagai kaum pemberontak. Julukan sebagai kaum pemberontak tidak lepas dari doktrin yang selalu dijejalkan kepada para pengikutnya. Doktrin pertentangan kelas dan jiwa revolusioner selalu dibangkitkan di kalangan para pengikut partai. Tak mengherankan apabila aksi-aksi yang didalangi PKI selalu bau amis darah.

Tengoklah bagaimana Lenin membangun kekuasaannya di Uni Soviet. Tengok pula Stalin, sebagai kader penerus Lenin, yang tangannya bersimbah darah rakyat Uni Soviet. Pembantaian terhadap Bangsa Polandia di Hutan Katyn, Kharkov, penjara Kalinin, dan tempat lainnya yang merenggut nyawa lebih dari 35.000 orang dilakukan hanya dalam tempo singkat. Sebanyak kurang lebih 11.000 orang di antaranya dieksekusi tembak.

Di dalam rezim komunis Uni Soviet pula, semasa Stalin berkuasa, ada manusia memangsa daging manusia. Ketika seluruh tanah, alat produksi, dan hasil panen para petani dirampas atas nama negara, Stalin menebar bencana ke tengah rakyatnya. Para petani tak memiliki pangan untuk mengenyangkan perutnya. Kelaparan menebar di mana-mana. Saat itulah penculikan anak-anak kecil dilakukan rakyat yang lapar. Anak-anak kecil itu dibunuh lalu disantap dagingnya. Rezim marxis-leninis penebar bencana dahsyat.

Suka amis bau darah rupanya melekat pula pada Muso. Setelah sekian lama menetap di Uni Soviet, setelah dijejali doktrin revolusioner oleh Stalin, setelah melihat bagaimana Stalin menggantung, menyiksa, membantai, dan membunuh lawan politiknya, Muso dan Alimin kembali ke Hindia Belanda (nama Indonesia sebelum merdeka). Setelah meminta arahan dari rezim komunis yang dipimpin Stalin, Muso memaksakan diri mengobarkan pemberontakan terhadap pemerintah Hindia Belanda. Pemberontakan yang dilakukannya bukan untuk mengusir penjajah Belanda dari Nusantara. Muso memberontak karena ambisinya yang ingin mendirikan negara komunis di belahan Asia Tenggara.

Namun, pemberontakan yang dilakukan Muso kandas. Tahun 1926—1927 adalah tahun kegagalan Muso. Muso pun diburu. Ia lari ke Uni Soviet. Muso kemudian kembali ke tanah air untuk melakukan pemberontakan di Madiun, September 1948. Pemberontakan Madiun adalah pemberontakan terhadap pemerintah Republik Indonesia. Pemberontakan yang memakan korban tidak sedikit. Madiun dan sekitarnya benar-benar bau amis darah. Para kyai, pejabat, guru, pegawai instansi pemerintah, polisi, dan tentara menjadi sasaran kebiadaban Muso dan seluruh antek-anteknya. Madiun dan kota-kota sekitarnya banjir darah.

Akibat kegagalan pemberontakan PKI tahun 1926—1927 pemerintah Hindia Belanda menangkap dan memenjarakan para pelakunya. Sebagian dibuang dan dipenjara di Tanah Merah, Boven Digoel, Papua. Penjara yang terletak di pinggir Sungai Digoel ini menjadi tempat pembuangan para pemberontak marxis. Ganasnya alam Digoel pada masa itu menyebabkan banyak tawanan yang menderita. Nyamuk malaria Digoel yang terkenal mematikan menjadi salah satu penyebab kematian kaum pemberontak PKI yang tengah dibuang di Tanah Merah, Boven Digoel.

Penjara Boven Digoel kini menjadi cagar budaya yang dilindungi pemerintah. Letaknya di samping Kantor Mapolres Boven Digoel. Saat Antikomunisme.com menjelajahi bangunan tua tersebut, masih ditemukan barang-barang peninggalan masa lalu. Wajah bangunan itu sendiri belum ada perubahan. Masih asli seperti sedia kala. Bangsal tempat para tahanan yang berbanjar dua saling berhadapan masih kokoh berdiri. Selain dalam bentuk bangsal, dalam kompleks penjara itu terdapat pula beberapa ruang tahanan berukuran satu meter kali satu meter. “Ruangan ini sekarang saya gunakan untuk menghukum anggota saya yang melanggar,” kata Wakapolres Kompol Muhammad Ja’far saat menyertai Antikomunisme.com meninjau penjara Digoel.

Bangunan kokoh peninggalan kolonial Belanda itu menjadi saksi bisu. Di sanalah kaum pemberontak PKI dibuang. Satu di antara mereka, yaitu Marco Kartodikromo, seorang marxis yang merupakan paman S.M. Kartosoewirjo (pemberontak Darul Islam). Marco berakhir hidupnya di Digoel pada Maret 1932 karena serangan malaria. Nama lainnya, yaitu Chalid Salim, saudara pejuang kemerdekaan H. Agus Salim, pun termasuk yang terseret paham marxis hingga harus mendekam di balik tembok penjara. Bahkan, ia termasuk orang yang paling lama hidup dalam pembuangan Digoel.

Penjara Digoel dikenal dalam sejarah sebagai tempat pembuangan. Para pejuang kemerdekaan pun ada yang dibuang ke sana. Sebut saja Dr. Moch. Hatta dan Soetan Sjahrir. Dua tokoh pergerakan tersebut pernah mencicipi hidup dalam penjara kolonial di Tanah Merah, Boven Digoel. Sebuah tempat yang sangat sulit dijangkau. Pada masa sekarang saja, Tanah Merah, Boven Digoel adalah daerah yang masih cukup sulit dijangkau. Terutama bila hujan mengguyur wilayah tersebut.

Kesulitan perjalanan melalui darat terasa berat. Perjalanan harus ditempuh dari Kota Merauke. Apabila ingin sedikit terkurangi kesulitan diperjalanan, hendaknya menyewa kendaraan bergarda ganda. Dengan biaya sedikitnya Rp.700.000 per orang, penumpang akan diantar menuju Tanah Merah, Boven Digoel. Perjalanan lancar bisa ditempuh sepuluh jam. Apabila jalanan diguyur hujan dan ada kendaraan terperangkap lumpur, bersiaplah untuk menginap di tengah hutan Papua.

Allahu a’lam. (abulfaruq ayip syafruddin)